Senin, 26 Oktober 2009

KUALITAS GURU

A. Pengertian Guru yang Berkualitas
Guru atau pendidik dalam Pasal 1 Ayat 6 Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.”.
Selanjutnya pada Pasal 39 ayat 2, dinyatakan bahwa: ”Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”.

Merujuk pada Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang dimaksud dengan guru yang berkualitas adalah guru yang profesional. Ada beberapa istilah yang bertautan dengan kata profesional, yaitu profesi, profesionalisme, profesionalitas dan profesionalisasi. Untuk dapat memperjelas satu sama lain, mari kita lihat terminologi kata-kata tersebut.
Hoyle (Dean, 1991:38) mendefinisikan profesi sebagai suatu pekerjaan yang memiliki karakteristik adanya praktek yang ditunjang oleh teori, adanya pelatihan yang lama, adanya kode etik yang mengatur perilaku, adanya tingkat otonomi yang tinggi dan adanya tanggungjawab dari anggotanya.
Menurut Sanusi, dkk (1991:19) profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian (expertise) dari para anggotanya. Artinya, pekerjaan itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan itu. Keahlian diperoleh melalui apa yang disebut profesionalisasi, yang dilakukan baik sebelum seseorang menjalani profesi itu (pendidikan/latihan pra-jabatan) maupun setelah menjalani profesi (in-service-training).
Budiningsih (2005) mengemukakan suatu profesi bukanlah sekedar mata pencaharian atau bidang pekerjaan, tetapi juga mengandung pengertian pengabdian kepada sesuatu seperti keadilan, kebenaran, meringankan penderitaan sesama dan sebagainya. Seseorang yang menyadari akan profesinya tahu betul pengabdian apa yang akan diberikan kepada masyarakat melalui pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Dengan paparan di atas dengan jelas dapat dikemukakan ciri-ciri pokok profesi seperti yang diungkapkan oleh Supriadi (1998: 96-97) berikut ini:
Pekerjaan itu mempunyai fungsi dan signifikansi sosial karena diperlukan mengabdi kepada masyarakat. Di pihak lain, pengakuan masyarakat merupakan syarat mutlak bagi suatu profesi, jauh lebih penting dari pengakuan pemerintah.
Profesi menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh lewat pendidikan dan latihan yang ‘lama’ dan intensif serta dilakukan dalam lembaga tertentu yang secara sosial dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Proses pemerolehan keterampilan itu bukan hanya rutin, melainkan bersifat pemecahan masalah. Jadi dalam suatu profesi, independen judgment berperanan dalam mengambil keputusan, bukan sekadar menjalankan tugas.

Profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu (a systematic body of knowledge), bukan sekadar serpihan atau hanya common sense.
Ada kode etik yang menjadi pedoman perilaku anggotanya beserta sangsi yang jelas dan tegas terhadap pelanggaran kode etik. Pengawasan terhadap ditegakannya kode etik dilakukan oleh organisasi profesi.
Sebagai konsekuensi dari layanan yang diberikan kepada masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan ataupun kelompok memperoleh imbalan finansial atau materil.

Menurut Sanusi, et al (1991:20) dan Danim (2002: 22) professional menunjuk pada dua hal, pertama orang yang menyandang suatu profesi. Orang yang profesional biasanya melakukan pekerjaan secara otonom dan mengabdikan diri pada pengguna jasa dengan disertai rasa tanggung jawab atas kemampuan profesionalnya itu. Kedua, kinerja seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Pada tingkat tinggi, kinerja itu dimuati unsur-unsur kiat atau seni yang menjadi ciri tampilan profesional seorang penyandang profesi.
Secara luas kata profesional menunjukkan pada seseorang yang ahli atau terampil dalam seni dan atau aktivitas tertentu. Seorang profesional melakukan suatu aktivitas untuk menerima bayaran atas apa yang ia kerjakan yang biasanya menurut keahlian dan keahlian itu dianggap penting secara sosial dan kebiasaannya. Melakukan sesuatu secara profesional berarti menunjuk bahwa aktivitas seseorang itu mengikuti aturan-aturan khusus, tertulis maupun tidak tertulis mengenai perilaku, pakaian, cara bicara dan lain-lain.

Menurut Goodlad, et al (Webb: 2002: 47-61), ada tiga gagasan yang diterima secara umum dalam literatur pendidikan tentang guru yang profesional. Pertama, seorang profesional harus memiliki tingkat bakat dan keterampilan yang tinggi. Kedua, profesional harus menggunakan keilmuannya untuk mendukung pekerjaannya, ketiga, profesional harus memiliki otonomi untuk membuat keputusan yang menggabungkan antara keterampilan dan pengetahuannya. Alasan konseptual mengemukakan bahwa guru memerlukan keterlibatan pemikiran kompleks yang efektif dalam pekerjaannya. Misalnya, keragaman siswa memerlukan guru yang dapat mempertimbangkan cara mengajar yang sesuai supaya materi dapat disampaikan kepada siswa dengan berbagai latar belakang kemampuan.
Educational Leadership dalam Supriadi (1998:98) menulis bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:
Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Guru bertanggungjawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar.
Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.
Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Kesimpulannya ialah seorang guru dikatakan profesional jika ia seorang ilmuwan yang dibekali dengan kemampuan dan keterampilan untuk menjadi guru. Ia harus menguasai keterampilan metodologis, karena menurut Budiningsih (2005), keterampilan metodologis inilah yang menjadi ciri khas yang membedakan guru dengan profesi lainnya.

Profesionalisme (professionalism) berarti sifat profesional. Menurut Danim (2002:23) orang yang profesional memiliki sikap-sikap yang berbeda dengan orang yang tidak profesional meskipun dalam pekerjaan yang sama. Tidak jarang pula orang yang berlatar belakang pendidikan sama dan bekerja pada tempat yang sama menampilkan kinerja profesional yang berbeda, serta berbeda pula pengakuan masyarakat kepada mereka. Profesionalisme berarti sifat yang ditampilkan dalam perbuatan, bukan yang dikemas dalam kata-kata yang diklaim oleh pelaku secara individual. Jadi profesionalisme berarti suatu komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya.

Menurut Sanusi, et al (1991:20), profesionalitas mengacu kepada sikap para anggota profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki dalam rangka melakukan pekerjaannya.
Profesionalitas mengandung dua dimensi utama, yaitu peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis. Aksentasinya dapat dilakukan melalui penelitian, diskusi antar rekan se profesi, penelitian dan pengembangan, membaca karya akademik kekinian, dan sebagainya. Kegiatan belajar mandiri, mengikuti pelatihan, studi banding, observasi praktikal, dan lain-lain menjadi bagian integral upaya profesionalisasi itu. Sedangkan Hoyle (Dean, 1991:38) berbicara profesionalitas sebagai suatu sikap terhadap praktik profesional suatu pekerjaan dan tingkat keterampilan serta pengetahuan dalam pekerjaan tersebut.

Profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifikasi atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya itu. Profesionalisasi pada dasarnya merupakan serangkaian proses pengembangan professional (professional development), baik dilakukan melalui pendidikan/ latihan ‘prajabatan’ maupun ‘dalam jabatan’. Oleh karena itu, profesionalisasi merupakan proses yang life-long dan never-ending, secepat seseorang telah menyatakan dirinya sebagai warga suatu profesi.

B. Ukuran Guru yang Berkualitas
Tantangan baru yang muncul kemudian dalam rangka pelaksanaan tugas keprofesionalan seorang guru atau pendidik, seiring dengan terbitnya UU No. 14 Tahun 2005 dan PP No. 19 tahun 2005 adalah tantangan normatif berupa sertifikasi guru sebagai jaminan lulus uji kompetensi sebagai guru profesional. Meskipun di dalamnya ada harapan baru berkaitan dengan tingkat kesejahteraan guru, tetapi sekaligus menjadi buah kecemasan dan penantian yang belum pasti bagi pendidik atau guru.
Guru harus berkualitas menurut standar tertentu. Bukti kualitas menurut standar tertentu yang menjamin seseorang dapat dikatakan sebagai guru profesional adalah selembar sertifikat. Pemerolehan sertifikat sebagai guru profesional harus melalui dan lulus uji kompetensi guru.
Ada dua kriteria utama yang menjadi syarat untuk sampai kepada maksud tersebut, yakni (PP RI No. 19 Tahun 2005, pasal 28, ayat 1 – 3):
(1) Memenuhi kualifikasi akademik pendidikan formal minimum diploma empat
(D-IV) atau sarjana (S1), dan
(2) Memenuhi standar kompetensi sebagai agen pembelajaran.
Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional, (PP RI No. 19 Tahun 2005, pasal 28, ayat 1). Kualifikasi akademik, sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seseorang yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, (PP No. 19 Tahun 2005, pasal 28, ayat 2).
Pasal 6: Pendidik pada SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
(a). Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1);
(b) Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
(c). Sertifikasi profesi guru untuk SMK/MAK.
Penjelasan konsep selanjutnya berkaitan dengan sertifikasi guru adalah kompetensi pendidik atau guru atau dosen. Kompetensi menurut Basuki Wibawa (2005), menggolongkan kompetensi menjadi tiga bagian, yakni: Kompetensi Individu; Kompetensi Kelompok; dan Kompetensi Inti Organisasi. Kompetensi individu adalah kombinasi pengetahuan, kemampuan/keterampilan dan sikap yang dimiliki seseorang, termasuk guru SMK sehingga ia mampu melaksanakan pekerjaan yang telah dirancang bagi dirinya (sebagai pendidik) baik untuk saat ini maupun di masa mendatang. Sementara itu, kompetensi kelompok adalah perpaduan kompetensi individu yang bersinergi untuk membentuk kompetensi inti organisasi. Kompetensi inti organisasi adalah keunggulan-unggulan sinergis yang dimiliki oleh suatu organisasi atau lembaga pendidikan sehingga mampu mencapai tujuannya dan menjawab permasalahan dan tantangan implementasi program kerja yang dihadapi. Kompetensi organisasi biasanya dibangun melalui proses pertumbuhan pembelajaran yang melibatkan berbagai elemen organisasi dan sering kali menyita waktu yang panjang dan menyerap sumberdaya yang besar.
Basuki Wibawa (2005), menyatakan bahwa kompetensi merupakan kombinasi yang kompleks antara pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai-nilai yang ditunjukkan dalam konteks pelaksanaan tugas.
Sementara itu, UU RI No. 14 2005, Pasal 1, ayat 10, menegaskan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Dengan demikian, kompetensi guru merupakan karakteristik dasar yang ditunjukkan oleh guru dalam bentuk pernyataan, sikap dan tindakan yang membentuk kepribadiannya yang mampu membedakan dirinya dengan orang lain dengan performansi tinggi atau rendah dalam melaksanakan tugasnya di bidang pekerjaan tertentu dalam lembaga pendidikan.
Meskipun pengertian kompetensi secara umum telah dijelaskan di atas, tetapi secara rinci yang mengindikasikan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran meliputi: Kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan Sosial, (UU RI No. 14 tahun 2005, pasal 10 ayat 1; dan PP RI No. 19 tahun 2005, pasal 28, ayat 3).
Lulus uji kompetensi sebagai syarat untuk memperoleh sertifikasi profesi yang menandai layak tidaknya seorang pendidik menyandang sebutan pendidik profesional berimplikasi pada meningkatnya penghasilan pendidik. Pendidik yang menyandang sebutan profesional berhak memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokoknya. Pendapatan yang bertambah akan berimplikasi pula pada meningkatnya perhatian pendidik pada tugas pokoknya dan akan mengurangi porsi waktunya untuk bekerja “di luar” jam tugas pokoknya. Hal itu berdampak positif pada kualitas pengelolaan PBM yang dikelolanya. Selanjutnya, dapat diharapkan kualitas peserta didiknya meningkat pula. Pada akhirnya akan berdampak positif pada kualitas pendidikan pada umumnya.
Menurut Danim, (2002) untuk melihat apakah guru dikatakan profesional atau tidak, dapat dilihat dari dua perspektif.
Pertama, dilihat dari tingkatan pendidikan minimal dari latar belakang pendidikan untuk jenjang sekolah tempat dia menjadi guru.
Kedua, penguasaan guru terhadap materi bahan ajar, mengelola proses pembelajaran, mengelola siswa, melakukan tugas-tugas bimbingan, dan lain-lain. (Sudarwan Danim, 2002).
Perspektif ini merujuk pada konsep yang dianut di lingkungan Depdiknas, sebagai “instructional leader” guru harus memiliki 10 kompetensi, yakni (Sudarwan Danim, 2002) :
(1) Mengembangkan kepribadian,
(2) Menguasai landasan kependidikan,
(3) Menguasai bahan pengajaran,
(4) Menyusun program pengajaran,
(5) Melaksanakan program pengajaran,
(6) Menilai hasil dan proses belajar-mengajar,
(7) Menyelenggarakan program bimbingan.
(8) Menyelenggarakan administrasi sekolah.
(9) Kerjasama dengan sejawat dan masyarakat.
(10) Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.

Sementara dalam Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
pasal 10 dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 pasal 28 tentang Standar Nasional Pendidikan, disebutkan bahwa guru yang berkualitas harus memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi professional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial.
Keempat kompetensi yang dimaksud diterangkan berikut ini:
Kemampuan Pedagogik. Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi pedagogik adalah “kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik”. Depdiknas (2004:9) menyebut kompetensi ini dengan “kompetensi pengelolaan pembelajaran. Kompetensi ini dapat dilihat dari kemampuan merencanakan program belajar mengajar, kemampuan melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan kemampuan melakukan penilaian.
Kemampuan Profesional. Menurut Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi profesional adalah “kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam”.
Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi profesional adalah berbagai kemampuan yang diperlukan agar dapat mewujudkan dirinya sebagai guru profesional. Kompetensi profesional meliputi kepakaran atau keahlian dalam bidangnya yaitu penguasaan bahan yang harus diajarkannya beserta metodenya, rasa tanggung jawab akan tugasnya dan rasa kebersamaan dengan sejawat guru lainnya. Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan profesional mencakup :
(1) penguasaan pelajaran yang terkini atas penguasaan bahan yang harus diajarkan, dan konsep-konsep dasar keilmuan bahan yang diajarkan tersebut,
(2) penguasaan dan penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan,
(3) penguasaan proses-proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa.
Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi profesional mengharuskan guru memiliki pengetahuan yang luas dan dalam tentang subject matter (bidang studi) yang akan diajarkan serta penguasaan metodologi yaitu menguasai konsep teoretik, maupun memilih metode yang tepat dan mampu menggunakannya dalam proses belajar mengajar.
Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi profesional meliputi:
(1) pengembangan profesi,
(2) pemahaman wawasan,
(3) penguasaan bahan kajian akademik.

Pengembangan profesi meliputi :
(1) mengikuti informasi perkembangan iptek yang mendukung profesi melalui berbagai kegiatan ilmiah,
(2) mengalihbahasakan buku pelajaran/karya ilmiah,
(3) mengembangkan berbagai model pembelajaran,
(4) menulis makalah,
(5) menulis/menyusun diktat pelajaran,
(6) menulis buku pelajaran,
(7) menulis modul,
(8) menulis karya ilmiah,
(9) melakukan penelitian ilmiah (action research),
(10) menemukan teknologi tepat guna,
(11) membuat alat peraga/media,
(12) menciptakan karya seni,
(13) mengikuti pelatihan terakreditasi,
(14) mengikuti pendidikan kualifikasi,
(15) mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.

Pemahaman wawasan meliputi :
(1) memahami visi dan misi,
(2) memahami hubungan pendidikan dengan pengajaran,
(3) memahami konsep pendidikan dasar dan menengah,
(4) memahami fungsi sekolah,
(5) mengidentifikasi permasalahan umum pendidikan dalam hal proses dan hasil belajar,
(6) membangun sistem yang menunjukkan keterkaitan pendidikan dan luar sekolah.

Penguasaan bahan kajian akademik meliputi :
(1) memahami struktur pengetahuan,
(2) menguasai substansi materi,
(3) menguasai substansi kekuasaan sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan siswa.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi profesional guru meliputi
(1) kemampuan penguasaan materi pelajaran,
(2) kemampuan penelitian dan penyusunan karya ilmiah,
(3) kemampuan pengembangan profesi, dan
(4) pemahaman terhadap wawasan dan landasan pendidikan
Kemampuan Sosial. Guru yang efektif adalah guru yang mampu membawa siswanya dengan berhasil mencapai tujuan pengajaran. Mengajar di depan kelas merupakan perwujudan interaksi dalam proses komunikasi.
Menurut Undang-undang Guru dan Dosen kompetensi sosial adalah “kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar”.
Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi sosial adalah kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar berhasil dalam berhubungan dengan orang lain. Dalam kompetensi sosial ini termasuk keterampilan dalam interaksi sosial dan melaksanakan tanggung jawab sosial.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa kompetensi sosial guru meliputi :
(1) interaksi guru dengan siswa,
(2) interaksi guru dengan kepala sekolah,
(3) interaksi guru dengan rekan kerja,
(4) interaksi guru dengan orang tua siswa, dan
(5) interaksi guru dengan masyarakat.
Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi sosial mengharuskan guru memiliki kemampuan komunikasi sosial baik dengan peserta didik, sesama guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, bahkan dengan anggota masyarakat.
Kemampuan Pribadi Guru sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, memiliki karakteristik kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sumber daya manusia. Kepribadian yang mantap dari sosok seorang guru akan memberikan teladan yang baik terhadap anak didik maupun masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang patut “digugu” (ditaati nasehat/ucapan/perintahnya) dan “ditiru” (di contoh sikap dan perilakunya). Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan belajar anak didik. Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam Syah (2000: 225-226) menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan anak didiknya terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah). Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya adalah meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologis. Fleksibilitas kognitif atau keluwesan ranah cipta merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan adanya keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Selain itu, ia memiliki resistensi atau daya tahan terhadap ketertutupan ranah cipta yang prematur dalam pengamatan dan pengenalan.
Dalam Undang-undang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi kepribadian adalah “kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik”.
Surya (2003:138) menyebut kompetensi kepribadian ini sebagai kompetensi personal, yaitu kemampuan pribadi seorang guru yang diperlukan agar dapat menjadi guru yang baik. Kompetensi personal ini mencakup kemampuan pribadi yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri.
Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi personal mengharuskan guru memiliki kepribadian yang mantap sehingga menjadi sumber inspirasi bagi subyek didik, dan patut diteladani oleh siswa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi kepribadian guru meliputi:
(1) sikap, dan
(2) keteladanan.
Menurut Sudhita (2006) keempat kompetensi yang dipaparkan di atas sebetulnya sudah menjadi kewajiban guru, diminta maupun tidak diminta, guru harus melakukannya secara tulus.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Guru
Mohamad Surya (2002) mengatakan bahwa faktor–faktor yang mempengaruhi kinerja profesional guru adalah “kepuasan kerja”.
Kepuasan kerja ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor:
(1) imbalan jasa,
(2) rasa aman,
(3) hubungan antar pribadi,
(4) lingkungan kerja,
(5) kesempatan
Untuk pengembangan dan peningkatan diri. BPPN tahun 1999 menyatakan bahwa kesejahteraan guru merupakan aspek paling crucial dalam dunia pendidikan. Tingkat kesejahteraan guru tergolong rendah, bahkan amat rendah, tidak setara dengan pengabdian yang diberikannya. Kesejahteraan guru yang rendah berdampak tidak menguntungkan terhadap motivasi guru, status sosial profesi keguruan, dan dunia pendidikan secara keseluruhan. Gaji merupakan aspek utama dan paling pokok dalam kesejahteraan guru. Selain gaji, kesejahteraan guru juga meliputi kelancaran dalam kenaikan pangkat, rasa aman dalam menjalankan tugas, kondisi kerja, kepastian karier sebagai guru, dan hubungan antar pribadi.
Faktor-faktor tersebut saat ini belum terwujud sepenuhnya dalam lingkungan kehidupan guru dan belum mendapat perhatian yang cukup oleh pemerintah dalam program profesionalisasinya.